Cerpen : Separuh Nyawa



Di tengah rimbunan pepohonan di sebuah hutan yang lebat, aku berdiri tegap memandang sekeliling. Sepi, gelap, dan berkabut. Entah dimana aku berada. Suara burung-burung yang bernyanyi memecahkan heningnya tempat ini. Sebuah tempat yang asing untuk wanita sepertiku. Di balik pepohonan, aku melihat sebuah banyangan memandangku dari jauh. Aku bergerak mundur beberapa langkah, bayangan itu terus memandangiku, aku memutuskan untuk berlari sekencang-kencangnya seraya menahan rasa takut yang ada dalam benakku. Keringat dingin membasahi telapak tangan dan sekujur tubuhku. Aku sangat ketakutan dan terus berlari tanpa menghiraukan apa yang ada di sekitarku. Kaki dan tanganku tergores ranting-ranting pohon yang aku lewati. Sudah sangat jauh aku berlari memasuki hutan, tiba tiba kakiku tergantung tidak berpijak lagi, dan seketika semuanya menjadi gelap.
            Sekujur tubuhku berkeringat, aku berada tepat di atas kasur dalam kamarku. Waktu sudah menunjukkan pukul enam pagi, aku terlambat! Aku bergegas mandi dan berangkat ke sekolah.
Aku duduk termenung di kantin sekolah. Memandang bakso yang aku pesan barusan, rasanya tidak ada nafsu untuk makan. Aku teringat pada mimpiku semalam, entah kenapa sudah dua kali berturut-turut aku memimpikannya. Darwin datang menghampiriku dan bertanya, “Kenapa kamu dari tadi diam saja Alya?” aku tertunduk lesu, aku tidak bisa menceritakannya dan memutuskan untuk bungkam, “Aku gapapa.”
***
Semua orang selalu membela dia, semua orang sayang padanya. Ya, pada Alma, kakak kembarku. Kami kembar identik, tapi kami sangat jauh berbeda. Alma sangat tomboy, sifatnya seperti laki-laki. Hobinya saja naik gunung, panjat tebing, terjun payung, pokoknya yang menantang. Lain denganku, aku sangat feminim dan terkenal di sekolah. Aku adalah model disalah satu majalah terkenal di Indonesia. Aku cantik, lebih cantik dari Alma. Tapi mengapa semua orang menaruh perhatian padanya? Mengapa aku selalu tersisihkan?
Di rumah, Ayah dan Ibu selalu menomor satukan Alma, sedikit-sedikit Alma, kalau aku bertengkar dengan dia, pasti selalu aku yang disalahkan. Mereka memang lebih sayang Alma daripada aku. Entah itu Cuma perasaanku saja, tapi emang faktanya begitu.
***
            Pagi ini aku berangkat ke sekolah lebih cepat dari biasanya, aku berangkat lebih dulu dari Alma. Setelah sampai di sekolah, aku bergegas menuju kelas. Teman-teman yang ada di depan ruang guru, di depan perpustakaan, menyapaku dengan ramah ketika aku lewat.
            Aku memang terkenal di sekolah, banyak cowok yang mau jadi pacarku. Tapi aku tidak pernah tertarik pada mereka. Aku hanya tertarik pada Daniel, kapten tim basket di sekolah. Daniel cowok paling tenar di sekolah, berarti cocok dong kalo aku sama dia pacaran. Tapi sayang, Daniel lebih tertarik sama Alma, dan mereka pun pacaran. Lagi-lagi Alma, kenapa sih selalu dia? Padahal kan aku lebih cantik. Aku benci Alma, dia selalu mengambil apa yang aku mau.
            Aku memang punya pacar. Namanya Darwin. Dia lumayan ganteng sih, perhatian banget sama aku, semua yang aku mau pasti dia turutin. Tapi sayangnya, aku ga suka, aku ga sayang sama dia. Aku nerima dia cuma biar ga jomblo aja.
            Sesampainya di kelas, terlihat Darwin telah duduk manis menunggu kedatanganku. Aku duduk disampingnya.
“Hey, tumben dateng pagi,” Sapa Darwin dengan lembut.
“Iya nih, males berangkat sama Alma, jadi aku dateng lebih pagi.” Ucapku sambil mengibaskan rambut.
Beberapa saat setelah aku sedikit bercanda gurau dengan Darwin, datang Alma dan Daniel masuk bersama ke dalam kelas. Aku jengkel melihatnya. Ketika Alma lewat ke hadapanku, aku menjulurkan kakiku dan Alma pun terjatuh.
“Makanya kalau jalan pake mata dong!” ucapku ketus. Alma hanya tersenyum, lalu berdiri dibantu Daniel dan duduk di bangkunya. Seisi kelas melongo melihat apa yang aku perbuat pada Alma. Akupun pergi keluar kelas. Darwin mengikutiku dari belakang.
“Ngapain kamu ngikutin aku?” ucapku sambil menghentikan langkah.
“Kamu kok jahat banget sih sama kakak sendiri?” Tanya Darwin dengan heran.
“Alma nyebelin, aku ga suka dia jalan sama Daniel,” jawabku dengan kesal.
“Loh, memangnya kenapa? Kamu suka sama Daniel? Kamu kan sudah punya aku.” Ucap Darwin sambil meraih tanganku.
“Ya, Aku ga pernah suka sama kamu, selama ini aku emang suka sama Daniel,” Darwin langsung melepaskan genggamannya dari tanganku.
“Alya… kamu tega banget sama aku,” Ucap Darwin dengan  mimik serius.
“Sekarang kamu sudah tau semuanya kan? Kalo gitu, lebih baik kita putus saja,” Ucapku tanpa basa basi, dan melangkah pergi meninggalkan Darwin.
***
Sang mentari sudah kembali bersembunyi, waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Itu tandanya, sekarang adalah waktunya makan malam. Aku segera melangkah ke ruang makan. Disana, sudah ada Ayah, Ibu, dan Alma. Aku duduk di sebelah Alma. Dia tersenyum padaku, tapi tidak aku tanggapi, Aku masih kesal karena tadi dia berani berduaan sama Daniel di depan aku.
Alma bertanya padaku, “kamu kenapa sih jutek banget sama aku?”
“Pikir aja sendiri,” Jawabku ketus.
Ibu langsung mengomentari aku, “Alya, ga boleh ketus gitu dong sama Alma, dia kan kakak kamu, ga baik kayak gitu,”
“Tuh kan Alya terus yang di salahin, ibu selalu aja bela Alma,” bantahku seraya pergi meninggalkan ruang makan. Aku memutuskan untuk mengurung diri di kamar. Setelah beberapa saat, ada yang mengetuk pintu kamarku. Tok! Tok! Tok!
“Siapa?!” Teriakku dari dalam kamar.
“Ini aku Alma,” Terdengar suara Alma dari balik pintu.
“Mau ngapain sih? Udahlah jangan ganggu aku,”
“Aku Cuma mau…,” “Pergi!!!” Ucapan Alma terpotong olehku. Suara Alma tidak terdengar lagi, itu tandanya berarti dia sudah pergi. Dan akhirnya hari ini aku tidak makan malam.
***
Setibanya di rumah, aku langsung merebahkan diri di sofa seraya membaca majalah edisi terbaru yang kebetulan ada dimeja. Capek sekali sekolah hari ini, batinku. Terdengar suara orang sedang bercakap cakap di dapur.
“Bu, besok Alma ada hiking ke gunung sama temen-temen selama satu minggu. Diizinkan ga?” Tanya Alma bersemangat.
“Hmm… gimana ya, sebentar ibu pikir-pikir dulu”
“Boleh ya bu..” Ucap Alma memohon mohon.
“Baiklah, tapi ibu khawatir kamu…”
“Ibu tenang saja, ada Daniel kok yang nanti  jagain Alma.” Alma memotong perkataan Ibu.
Akhirnya Ibu sepakat memperbolehkan Alma hiking ke gunung. Eh tunggu dulu, Daniel ikut? Kenapa Daniel harus ikut sih? Tapi tak apa, yang penting nanti Alma ga ada di rumah selama satu minggu.
Alma menghampiriku yang sedang duduk di sofa ruang tamu. Dia duduk di sebelahku.
“Alya, aku mau ngomong dong sama kamu,” Ucap Alma dengan nada serius. Entah mengapa aku merasa ada yang lain dengan nada bicara Alma kali ini. Tapi.. Ah, masa bodoh.
“Aku minta maaf, kali ini aku pergi cukup lama, aku Cuma pengen kamu menjaga benda yang paling berharga ini untukku,” Ucap Alma. Aku bergeming, pura-pura tidak peduli dengan apa yang diucapkan Alma.
Alma kembali menimpali ucapannya, seraya meletakkan sebuah syal dihadapanku. “Aku hanya ingin kamu tahu kalau sebetulnya aku sangat menyayangimu.”
            Setelah Alma berlalu, cukup lama aku memandangi syal itu. Entah kenapa, aku ingin menyimpannya. Kali ini aku begitu peduli dengan benda pemberian Alma, tidak seperti biasanya.
***
            Sudah seminggu berlalu, Alma belum kembali. Selang beberapa hari, dua orang petugas polisi datang ke rumah. Mereka terlihat berbicara dengan ayah dan ibu. Entah apa yang dibicarakan. Tiba-tiba ibu menangis dan meneriakkan nama Alma. Aku segera menghampiri ayah dan ibu, ingin tahu apa yang terjadi.
            Ibu langsung memelukku dan berkata, “Alma hilang,” aku tertegun, tidak bisa berkata apa-apa. Walau bagaimana pun, Alma adalah kakak kembarku. Seketika itu, aku langsung berlari ke kamar mengambil syal pemberian Alma, aku menangis sejadi jadinya. Aku menyesali semuanya, ternyata hari itu adalah hari terakhir aku bertemu Alma.
            Hari ini aku memutuskan ikut ke dalam tim pencarian Alma. Walaupun ayah dan ibu tidak menyetujuinya. Dan aku meyakinkan ayah dan ibu bahwa hanya aku yang bisa menemukan Alma.
            Memasuki hari kedua pendakian, kami mendirikan tenda di tempat yang sama dimana terakhir kali Alma berada. Kami memutuskan untuk bermalam di tempat ini.
Di balik pepohonan, aku melihat sebuah banyangan memandangku dari jauh. Aku bergerak mundur beberapa langkah, bayangan itu terus memandangiku, Keringat dingin membasahi telapak tangan dan sekujur tubuhku. Aku sangat ketakutan. Bayangan itu makin lama semakin jelas. Aku terkejut, itu Alma. Aku datang menghampirinya, tapi Alma semakin menjauh. Aku berusaha untuk mengikutinya, tapi langkahnya terlalu cepat.
Aku terbangun, Ternyata hanya mimpi. Aku bergegas menemui Daniel dan menceritakan semuanya. Kami pun bergegas masuk ke hutan. Aku merasa Alma tidak jauh dari sini, bahkan terasa sangat dekat. Baru kali ini aku merasa Alma adalah bagian dari diriku.
Aku teringat dengan mimpiku beberapa hari yang lalu. Ternyata bayangan itu adalah Alma. Ternyata mimpi itu adalah pertanda buruk. Harusnya aku sadar, harusnya aku tau itu adalah firasat. Tapi aku terlambat menyadarinya. Sekarang semuanya sudah terjadi.
Setelah cukup jauh masuk ke hutan, kami beristirahat di sebuah pos pemantauan yang sudah tak terpakai lagi yang terletak di bibir jurang. Tak di sangka, kami menemukan jejak Alma. Gelang yang tak pernah lepas dari tangannya tergeletak begitu saja di lantai. Kupandangi baik-baik dan aku yakin ini memang milik Alma.
Aku memasuki ruangan lain di pos itu, aku menemukan sebuah buku dan aku menemukan tulisan Alma di dalamnya.
…dengan cara apalagi aku harus membuktikan pada Alya bahwa aku sangat menyayanginya dan rela berkorban apapun untuknya, dia adalah separuh nyawa bagiku. Betapa tidak, dia adalah adik kembarku… besok pagi aku akan mengambil edelweiss merah itu… semua ini hanya untuk Alya…
            Aku terdiam, dadaku sesak, aku menangis sejadi jadinya, terbayang betapa kejamnya aku pada Alma. Aku menyesali semuanya. Tapi semuanya sudah terlambat..
            “Alya!” kata Daniel seraya menghampiriku. “Apa yang kamu temukan?” Tanya Daniel.
            Tak sepatah kata pun keluar dari mulutku, Daniel langsung mengambil dan membaca buku yang ada di tanganku. Kami saling bertatapan dan mempunyai firasat yang sama. Kami berlari menuju bibir jurang. Dan disana memang ada edelweiss yang langka itu, tumbuh ditempat yang hampir mustahil dijangkau.
            Kami menemukan seutas tali yang biasa dipakai para pendaki. “Alma!!!!!!” kami berteriak berkali kali, Tapi tak ada jawaban. Seketika itu, aku lemas tak bertenaga. Tangisanku belum berhenti, malah semakin menjadi. Daniel berkata, “tunggu disini, aku akan memanggil bantuan.”
            Aku hanya bisa menangis melihat jenazah Alma diangkat dari dalam jurang. Berapa pun banyaknya air mata yang mengalir dari mataku, tak akan pernah mengembalikan Alma kepadaku. Aku menyadari satu hal, bahwa aku dan Alma adalah satu nyawa dalam dua jiwa.
***

Comments

Popular Posts